Minimal ada dua temuan penting bertalian dengan bahasa dan perkembangan sosial (bangsa) Indonesia. Saya menyebutnya fenomena mulur-mungkret (Bahasa Jawa: mengendur dan mengerut) Bahasa Indonesia. Pertama; kecenderungan untuk nginggris. Kedua, pemakaian Bahasa Indonesia dalam jejaring sosial (social media).
Pertama; kecenderungan menggunakan istilah atau Bahasa Inggris yang oleh Alif Danya Munsyi (2005) disebut kegenitan berbahasa. Artinya, kebiasaan menyisipkan kata atau istilah dari Bahasa Inggris dalam pembicaraan. Seolah-olah belum mantap jika tidak ada kata atau istilah dari bahasa asing itu.
Bagaimana itu bisa berlangsung? Hal itu terjadi semata-mata karena kemiskinan kosakata yang dimiliki Bahasa Indonesia sehingga harus meminjam dari bahasa asing? Atau akibat dari perkembangan di luar persoalan bahasa itu sendiri yang akhirnya turut membentuk cara dan ukuran orang berbicara yang ”baik dan benar”.
Kemenarikannya, dinamisasi berbahasa tidak melulu disebabkan oleh hal-hal yang bersifat kebahasaan tapi juga oleh faktor nonbahasa. Salah satunya ekonomi. Rujukan banyak negara terhadap keberhasilan pembangunan ekonomi yang tercermin dari pendapatan per kapita serta produktivitas barang dan jasa saat ini adalah China, Jepang, Amerika, dan Eropa.
”Mesin-mesin” ekonomi yang bekerja di dua nama kawasan yang terakhir saya sebut, mayoritas menggunakan Bahasa Inggris. Dari proses produksi, distribusi, promosi, hingga transaksi –selayaknya dalam perputaran ekonomi global– juga menggunakan Bahasa Inggris.
Akhirnya, kita pun, baik sebagai individu maupun komunitas (warga negara), merasa wajib mengusai Bahasa Inggris. Jika tidak, risiko buruk ekonomi terbayang di depan mata. Sampai di sini saya ingat apa yang dikatakan Ajip Rosidi (Bahasa Indonesia Bahasa Kita, 2001): penerimaan suatu bahasa, lebih didorong oleh janji imbalan sosial ekonomi daripada kecanggihan bahasa itu sendiri.
Kembali ke Teks
Kedua; pemakaian bahasa Indonesia di jejaring sosial, antara lain blog, Facebook, dan Twitter. Jumlah facebookiyah di negara kita tak kurang dari 43,06 juta jiwa. Melebihi jumlah penduduk Kanada yang hanya 33,2 juta jiwa (2011). Kita terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Pengguna Twitter sekitar 19,5 juta orang, pengguna kelima terbesar di dunia, persis di bawah Inggris dengan 23,8 juta akun.
Ada beberapa sebab mengapa jumlah pengguna Facebook dan Twitter di Indonesia begitu besar. Salah satunya adalah integrasi telepon genggam dan internet. Pengguna telepon genggam di Indonesia sekitar 125 juta jiwa, atau 53% dari total jumlah penduduk Indonesia yang 238 juta jiwa.
Di luar itu adalah sifat jejaring sosial itu sendiri. Yakni ada unsur partisipatif, keterbukaan, saling keterhubungan, kelancaran dialog, simultan, memberi peluang sama untuk berkembang, personal, dan seketika (realtime).
Facebook dan Twitter dalam pandangan saya telah mengembalikan kita pada teks. Terlebih blog. Kita menjadi begitu karib dengan huruf. Menulis, membaca, memahami, menanggapi dengan tulisan. Membaca lagi, mencoba memahami lagi, menulis lagi, demikian berulang-ulang. Maka tanpa kita sadari kita pun menjadi demikian akrab dengan bahasa, terutama Bahasa Indonesia.
Berbeda dari Twitter yang mini kata, jejaring sosial Facebook dan blog memberikan keleluasaan tanpa batas pada kita untuk menulis. Tidak dibatasi jumlah huruf, baik di bagian update status, terlebih note (catatan).
Oleh banyak facebooker, note dijadikan sarana memajang hasil mereka belajar menulis. Sama hal yang terjadi pula pada pra-blogger untuk tiap tulisan yang diunggah. Kabar gembiranya, tidak sedikit buku diterbitkan, pada mulanya catatan di Facebook dan blog.
Jadi, kehadiran jejaring sosial tidak saja mengembalikan kita pada aksara, abjad, teks, tapi juga memelihara, mengembangkan, menghimpun, dan memperkaya (mulur) Bahasa Indonesia dari sisi produk media baca, yaitu wadah bagi keterhimpunan Bahasa Indonesia.
Yang juga tak boleh dilupakan, kehadiran jejaring sosial telah mendesentralisasi pengembangan Bahasa Indonesia dari pemilik otoritas kebenaran, baik oleh negara (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa), komunitas (sastrawan), maupun industri (media) ke tiap individu pengguna.
Tentu ini berkah bagi kita, yang pada masa Orla dan Orba Bahasa Indonesia hanya menjadi instrumen negara (pemerintah, rezim yang berkuasa) untuk melakukan dominasi fisik dan hegemoni pikiran atas warga negaranya.