Selisik Soekarno-Hatta

BILA kita mau memperhatikan, semua penggal sejarah memiliki kesinambungan dan ada benang merah yang menautkan. Demikian juga di antara kelompok yang berbeda, selalu terjadi proses penepis perbedaan. Caranya bisa dengan membangun monumen kebulatan tekad,  bersumpah, melalui ikatan perkawinan, prasetya, atau lewat cara mendeklarasikan kebulatan tekad. 
Mereka adalah produk zamannya. Borobudur misalnya, ia monumen sebagai tengara bagi tekad untuk bersatu dari dua kekuatan sosial dinasti Syailendra yang ada di Jawa dan Sumatra. Menurut Moh Yamin, setelah itu tidak ada lagi ’’penjajahan’’ Jawa atas Sumatra, atau sebaliknya. Yang ada adalah proses penyatuan setelah Balaputradewa kembali dari Sumatra, dari dinasti Syailendra, ke Tanah Jawa. 
Demikian pula keputusan Airlangga mudik dari Bali, menyeberangi Selat Bali menuju Jawa, dan mengawini putri raja dari Jawa, menandai tekadnya untuk menyatukan Jawa dengan Bali dalam keprabuan Mataram Hindu.
Pada masa Majapahit ada Gadjah Mada, yang kemudian mengucapkan Sumpah Palapa, sebuah tekad untuk tidak mengikuti arus perpecahan. Sumpah tersebut manifestasi dari konsep Bhinneka Tunggal Ika. Bisa berbeda kelompok atau kepentingan, namun lebih mengedepankan kepentingan utama, dan muncullah tokoh sentralnya, yaitu Gadjah Mada. 
Senyatanya dia bukan sosok yang disenangi semua pihak melainkan hanya berani ’’bertindak salah’’ untuk mengatasi kondisi perpecahan. Dalam kekinian, kita bisa menyebutnya sosok kontroversial. Langkahnya berisiko menyakiti hati para kesatria Sunda, demi menggapai cita-cita persatuan Nusantara di bawah Majapahit. Secara simbolik Gadjah Mada mengucapkan Sumpah Palapa, yakni tidak akan makan buah palapa, sebelum ’’persatuan nasional’’ tercapai.
Pada masa-masa terakhir penjajahan Belanda, tepatnya tanggal 28 Oktober 1928, sejumlah pemuda yang tergabung dalam Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI) menggelar Kongres Pemuda (KP) II di Jakarta. 
Forum itu merupakan wadah kebulatan tekad untuk mengesampingkan berbagai perbedaan yang bersifat primordial demi mengakui ikatan kesatuan Tanah Air, bangsa maupun bahasa yang bernama Indonesia. Memperhatikan perjalanan sejarah kita bisa melihat sejumlah tonggak kebulatan tekad anak-anak bangsa demi menggapai kesamaan tujuan, yaitu kesatuan bangsa untuk mendirikan kesatuan nasional. Itulah benang merah yang terbentang menembus batas-batas waktu dari sejumlah penggal sejarah.
Posisi Soekarno-Hatta
Bukan bermaksud mencari-cari masalah melainkan hanya memaparkan sejarah. Fakta menunjukkan bahwa dari 71 peserta dan anggota panitia  Kongres Pemuda II (KP II) yang menghasilkan Sumpah Pemuda tidak ada nama Soekarno dan Mohamad Hatta. Panitia kongres terdiri atas Ketua Soegondo Djojopoespito (PPPI), Wakil Ketua RM Djoko Marsaid (Jong Java).
Sekretaris Moh Yamin (Jong Sumateranen Bond), Bendahara Amir Sjarifoeddin (Jong Bataks Bond), Pembantu I Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond), Pembantu II R Katjasoengkana (Pemoeda Indonesia), Pembantu III RCI Sendoek (Jong Celebes), Pembantu IV Johanes Leimena (Jong Ambon), dan Pembantu V M Rochjani Soe’oed (Pemoeda Kaoem Betawi). Adapun peserta terdiri atas 71 orang. 
Pastilah muncul pertanyaan, mengapa tokoh nasionalis sekaliber Bung Karno dan Bung Hatta seakan-akan tidak terlibat dalam gerakan pemuda, semisal KP II yang menghasikan Sumpah Pemuda? Padahal usia mereka pastilah berada dalam usia muda. Bahkan ketika tahun 1926 mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) Bung Karno masih berusia 26 tahun. 
Pada tahun itu pun Bung Karno dan Bung Hatta belum menjalani hukuman pembuangan karena sidang pengadilan terkait mereka baru digelar pada 1933. Apakah dua tokoh itu juga disepakati menjadi pasangan pertama presiden-wakil presiden pada 1945 dengan sebutan Dwitunggal?
Jawabnya tidak karena Soekarno-Hatta tidak sepakat terkait gagasan besar Sumpah Pemuda sehingga tak mau bergabung bersama mereka. Tapi banyak tokoh yang jadi peserta kongres itu kemudian menjadi kolega perjuangan atau pasangan kerja dalam menjalankan pemerintahan RI. Kita bisa menyebut di antaranya Moh Yamin, Wilopo, Amir Sjarifoeddin, Arnold Mononutu, Sartono, Kasman Singodimedjo, Moh Roem, dan Johanes Leimena.
Patut diketahui bahwa penyelenggara KP II adalah PPPI, sementara  organisasi itu dibentuk dengan latar belakang ketidaksejalanannya dengan  penampilan dan kinerja partai-partai politik yang dianggap keras, terutama terhadap Partai Komunis. Lebih dari itu ternyata  kongres dihadiri oleh utusan pihak penjajah, yaitu van der Plas, yang anticita-cita persatuan nasional Indonesia. Patut kita duga pula bahwa penyelenggara kongres memang tidak menghendaki keterlibatan Soekarno-Hatta dalam kegiatan tersebut. Karena itu, perlu kiranya ada kajian yang lebih mapan guna memperjelas sejarah.
 
Sumber: suaramerdeka.com