Bagi masyarakat urban yang tinggal di kota besar dengan mobilitas tinggi, bad mood mudah muncul berkali-kali dan bahkan terpelihara, disadari atau tidak. Jika bad mood diabaikan, dan Anda tak mencari solusi mengatasinya dengan meningkatkan good mood daripada bad mood, dampaknya tak hanya bersifat individual namun juga sosial.
Psikolog Dr Rose Mini AP, MPsi menjelaskan setiap orang harus mampu mengelola bad mood dan good mood dalam dirinya. “Pikiran memengaruhi mood. Misalnya, jika bilang sebal, maka yang terjadi demikian. Makanya jangan bilang sebal,” tutur perempuan yang akrab disapa Romi ini, saat jumpa pers kampanye Mizone City Project bertajuk Aku, Kotaku Ok Lagi! di Jakarta, Rabu (8/2/2012) lalu.
Romi menambahkan, bad mood yang terus menerus terjadi dan dibiarkan tanpa mencari solusi memunculkan aura negatif dan dapat memengaruhi jiwa. Sejauhmana dampaknya? Karena manusia unik, apa yang terjadi pada diri setiap orang tentunya akan berbeda. Namun tanda paling umum yang bisa ditemui dalam diri seseorang yang terus menerus mengalami bad mood tanpa mau dan mampu mengontrolnya adalah apapun yang dilakukannya takkan optimal.
“Seseorang harusnya mampu mengoptimalkan energi positif. Kecemasan yang tinggi membuat seseorang selalu salah dalam mengerjakan sesuatu akibat suasana hati tidak tenteram. Orang dengan bad mood kerjanya tidak optimal karena energinya habis memikirkan bad mood,” jelasnya.
Bahaya lain dari bad mood yang “terpelihara” di antaranya berdampak pada hubungan interpersonal karena orang lain tak ingin berdekatan dengan si bad mood karena kerap meletup-letup. Si bad mood juga tak bisa berinteraksi dengan orang lain karena komunikasinya buruk. Kinerja personal juga menurun karena produktivitas yang buruk lantaran bad mood. Dampak jangka panjangnya, suasana hati yang tak tenteram ini memengaruhi harapan dan cita-cita seseorang.
Dampak sosial
Bad mood bukan masalah pribadi, namun juga menjadi masalah sosial karena dampaknya bukan hanya dirasakan diri sendiri. Sosiolog, Dr Ida Ruwaida sepakat bahwa jika seseorang dalam kondisi happy, ia memiliki produktivitas tinggi. Inilah sebabnya, good mood perlu lebih terpelihara ketimbang bad mood.
Menurut Dr Ida, bad mood punya dampak luas. “Bad mood terus menerus membuat seseorang hanya berorientasi pada diri sendiri. Ia sibuk dengan dirinya sendiri yang lain tidak kelihatan. Perhatian terhadap orang lain menjadi terbatas. Orang lain dilihat sebagai penyebab masalah. Akibatnya ia menjadi pribadi yang egois, kepedulian sosial rendah dan kebersamaan berkurang,” jelasnya.
Dr Ida menegaskan, “Bad mood merupakan masalah sosial, bukan individual, terutama jika dialami banyak orang.” Misalnya kemacetan yang terjadi dan dialami banyak orang di kota besar seperti Jakarta, minimnya fasilitas publik dan sosial khususnya untuk remaja, ini adalah sejumlah faktor eksternal yang dapat menimbulkan bad mood bagi warga kota. Karena hal ini berdampak luas seperti tingkat stres.
“Jika bad mood menonjol pada masyarakat kota, kualitas hidup masyarakat kota dipertanyakan,” tuturnya menanggapi survei di sembilan kota besar diadakan Mizone dan Media Wave yang menunjukkan, ungkapan yang mengindikasikan bad mood melalui Twitter lebih banyak dibandingkan good mood.