Selain kehilangan kepercayaan, ternyata menurut penelitian yang dilakukan di University of Notre Dame, berbohong juga bisa merusak kesehatan. Penelitian ini dilakukan terhadap 110 peserta dengan persentase 35 persen orang dewasa dan 65 persen remaja sekolah selama 10 minggu. Peserta yang dipilih berusia 18-71 tahun dan dibagi dalam dua kelompok. Di kelompok pertama, peserta diberi perintah untuk tidak berbohong. Dan, di kelompok kedua yang bertindak sebagai kontrol dan tidak diberikan instruksi khusus.
Kelompok kontrol yang tidak diberi instruksi khusus untuk berhenti berbohong, menurut data survei berbohong lebih banyak. Dan hasilnya, mereka berisiko lebih tinggi mengalami gangguan kesehatan mental dan fisik yang lebih berbahaya dari sakit kepala dan tenggorokan. Ketika mereka melakukan kebohongan tiga kali lebih sedikit dibanding minggu sebelumnya, mereka pun mengalami penurunan risiko gangguan mental dan fisik dua kali lebih sedikit.
Dibanding dengan kelompok kontrol, kelompok jujur pasti memiliki jumlah frekuensi kebohongan yang lebih sedikit selama 10 minggu. Di minggu kelima, kelompok jujur ini menjadi terbiasa jujur dan tak suka berbohong. “Kami menemukan bahwa peserta sebenarnya bisa secara dramatis mengurangi kebohongan mereka sehari-hari. Karena pada akhirnya ini akan meningkatkan kesehatan mereka secara signifikan,” ungkap Anita Kelly, salah satu peneliti. Para peneliti menemukan kelompok orang yang tidak berbohong ini akan merasa lebih santai.
Studi ini juga menemukan bahwa berbohong akan berdampak pada hubungan pribadi. Dalam kelompok yang tak berbohong, mereka memiliki hubungan dan interaksi sosial yang lebih baik. “Analisis statistik menunjukkan bahwa peningkatan interaksi sosial yang baik akan menyumbang peningkatan kesehatan. Dan hal ini dikaitkan dengan berkurangnya frekuensi berbohong,” jelas Wang Lijuan, asisten penulis penelitian.