Mengetahui definsi pendidikan mungkin cukup kita ketahui sekali atau sekali-sekali. Tetapi, menyadari peranan kita sebagai pendidik, butuh kita perbarui setiap kali. Sebab, jika tidak, segera posisi kita bergeser, dari pencipta dalam proses pendidikan menjadi sekedar alat. Ini karena jiwa kita akan sulit mengembangkan proses-proses kreatif atau reflektif dengan hanya mengetahui saja, menjalani saja, atau mengetahui dan menjalani saja. Jiwa kita butuh digunakan untuk menyadari. Kesadaranlah yang mengubah tindakan. Mirip seperti ibadah, katakanlah sholat atau puasa. Mestinya, setiap kali mau melakukannya, butuh kesadaran baru. Sebab kalau tidak, jiwa dan raga kita hanya akan menjadi buruh kewajiban, bukan menjadi kreator proses pencerahan. Karena itu, orang shalat pun masih dibilang celaka bila jiwanya alpa.
Dua Kesadaran Dalam Mendidik
Bila melihat berbagai penjelasan tentang pendidikan, ada sedikitnya dua kesadaran yang perlu kita ciptakan setiap kali mau pergi mengajar.
Pertama, kita perlu menyadari pendidik itu mengeluarkan apa yang dari dalam. Ini sesuai dengan arti education sendiri, yaitu e= keluar (out) dan ducare = mengarahkan atau membimbing.
Pada diri setiap siswa itu pasti ada potensi yang tersembunyi. Ibarat tambang emas, emasnya sendiri pasti tertimbun tanah, bebatuan dan pepohonan. Untuk mengeluarkan emas, para penambang punya tradisi membersihkan jalan atau lingkaran tambang lebih dulu, baru kemudian menambang.
Kedua, pendidikan itu menyalakan cahaya. Ibarat energi dalam listrik, energi itu tidak mungkin menghasilkan cahaya dengan hanya dirinya. Untuk menjadi cahaya, perlu ada pembangkit yang mengolah energi dengan menciptakan gesekan, seperti korek api.
Dua kesadaran itulah yang kerapkali menjadi pegangan para tokoh pendidikan yang hasilnya sudah teruji oleh kenyataan. Bagi mereka, ukuran lembaga pendidikan itu bukan wah iklannya, wah administrasinya atau wahkiprahnya di pamerah. Ukurannya adalah, alumninya pada jadi apa di masyarakat?
Kalau alumninya banyak yang bisa mengeluarkan potensi di dalam dirinya dan bisa mengeluarkan cahaya bagi orang lain, berarti lembaga pendidikan atau para pendidiknya di situ OK. Pendidikan di situ berhasil mengejewentahkan esensi pendidikan. Tapi kalau ukurannya baru berapa yang masuk PT negeri, studi ke luar negeri, ranking UAN, dan semisalnya, standarnya dianggap masih rendah. Pengujinya masih berstandarkan tulisan, belum kenyataan. Lebih-lebih kalau menirukan keluhan wongcilik yang sering kita dengar: “Lha wong yang gitu-gitu banyak yang bisa dibayar kok, ngapaian dijadikan kebanggaan?â€Â
Jangan Menjadi Birokrat Kurikulum
Tanpa pembaruan kesadaran, bisa-bisa praktek kita malah membebani siswa, bukan mencerahkan mereka. Mungkin, karena semakin banyak jumlah pendidik yang prakteknya membebani siswanya, di kalangan pendidik sendiri muncul istilah Birokrat Kurikulum sebagai kritik.
Birokrat Kurikulum (BK) adalah sindirian untuk menyebut pendidik yang cara berpikirnya menganut paham “Kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah?â€Â, mirip seperti budaya birokrasi kita zaman duluâ€â€ruwetnya minta ampun tetapi ringkihnya juga minta ampun. BK lebih kerap tampil sebagai sosok yang otaknya ruwet oleh prosedur, metode, dan teknik, sementara visinya, keyakinanya, dan spiritnya miris. BK tidak mau meniru tradisi para penambang yang mendapatkan cara-cara menambang dari alam dengan membersihkan lebih dahulu.
Sebagian pendidik kerap melakukan pengeboran paksa untuk bisa memasukkan materi kurikulum, tanpa berupa membersihkan areal tambang. Padahal, banyak fakta mengungkap bahwa pendidikan di dunia yang lebih banyak berhasil adalah yang menomersatukan pembersihan konsep diri yang kurang atau yang salah, sebelum kurikulum atau buku paket. BK juga kerap menggunakan senjata indoktrinasi sebagai senjata kesayangan, dengan mengingkari fakta kemanusiaan para murid. Mereka dipaksa harus menjadi manusia berinsting malaikat (positifnya) dengan disuruh membuang kejelekannya.
Padahal, hukum cahaya mengatakan bahwa cahaya itu baru keluar setelah ada gesekan plus dan minus dengan cara yang terdidik. Indoktrinasi mempersempit ruang untuk learning, eksperimentasi, dan eksplorasi. Akibatnya apa? Seperti yang sering kita saksikan, pendidikan lebih sering melahirkan orang yang berwacana tentang kenyataan atau melakukan judgment terhadap kenyataan, tetapi kurang mengeluarkan cahaya. Pendidikan lebih pinter menghasilkan para petarung perdebatan ketimbang penggagas dialog, sinergi, dan kebersamaan.
Itulah kenapa pada dinamika lain ada fakta yang membuktikan bahwa orang-orang yang telah berhasil mengeluarkan cahayanya itu justru diawali dengan keberaniannya menerobos, menentang, atau menafsirkan lain SOP pendidikan melalui berbagai gesekan, internally and externally.
Arah Konsentrasi Guru
Berdasarkan praktek yang sudah kita jalankan sebagai pendidik, sebetulanya ada alat sederhana untuk mengaudit seberapa jauh kita sanggup memerankan fungsi pendidik yang searah dengan esensi pendidikan. Alat sederhana itu kita sebut saja arah konsentrasi. Kemana konsentrasi itu kita arahkan selama ini, akan bisa kita jadikan ukuran apakah selama ini kita hanya pendidik BK atau pendidik yang mendidik. Secara umum, konsentrasi pendidik dapat dikelompokkan seperti berikut ini:
Pertama, ada guru yang sebagian besar konsentrasinya mengarah pada pengembangan dan kepentingan murid atau lembaga pendidikan. Mereka mengembangkan dirinya untuk bisa mengembangkan siswanya. Mereka mendefinisikan muridnya sebagai calon aset pembangunan yang luar biasa, bukan sebagai sebagai pengguna jasa.
Menurut sunnatullahnya, guru seperti inilah yang kerap menghasilkan output yang bagus. Guru seperti ini yang biasanya mampu menghasilkan murid-murid yang jauh lebih pintar dari dirinya. Guru seperti inilah yang murid-muridnya tetap tidak mampu merasa lebih unggul dari gurunya, walau pun sudah sekolah kemana-mana.
Kedua, ada guru yang sebagian konsentrasinya mengarah pada kepentingan dirinya, pangkatnya, kariernya, politiknya, dan seterusnya. Banyak kampus atau sekolah yang murid-muridnya ditinggal oleh dosennya ke kota untuk mengejar beasiswa atau gelar akademik yang lebih tinggi supaya nanti bisa naik pangkat.
Sejauh itu diatur oleh sistem dan komitmen untuk mengembangkan lembaga dan siswa dalam jangka panjangnya, itu sangat bagus. Tapi, kalau hanya untuk kepentingan karier pribadi semata, atau hanya untuk pindah ke tempat yang lebih enak, hubungan kita dengan siswa menjadi hubungan manipulatif.
Ketiga, ada guru yang mengarahkan sebagian besar konsentrasinya untuk mengurusi pekerjaan sebagai pengajar. Meminjam ungkapannya Edison, guru seperti ini tenggelam dalam kesibukan jabatan, tetapi tidak menyadari apa tujuan dari kesibukannya. Yang penting mengajar, absen beres, honor beres, dan selesai. Jika kita terlalu sibuk mengurusi hal-hal teknis, tanpa didukung dengan visi dan imajinasi, serta keyakinan, kita akan sulit berkembang dari kenyataan. Kenyataan akan mengubur kita, mirip seperti truk yang berjalan di atas tanah berlumpur. Langkah kita terpendam oleh lumpur kenyataan.
Keempat, ada guru yang mengarahkan sebagian besar konsentrasinya untuk bisa selamat dari tuntutan sistem yang makin mengikat. Biasanya, ini terjadi di sekolah yang berbiaya tinggi. Tuntutan kepada guru tidak saja datang dari kepala sekolah, tapi juga dari yayasan, wali murid, kepsek, murid, media, dan lain-lain. Bagi guru yang kurang waspada (alert), konsentrasinya bisa salah arah. Konsentrasi yang untuk pengembangan murid, supaya potensinya keluar atau supaya cahayanya keluar, menjadi berkurang. Konsentrasinya terkuras untuk kepentingan orang dewasa yang menjadi stakeholder dan shareholdersekolah.
Semua guru memang harus memikirkan muridnya, dirinya, keluarganya, politiknya, pekerjaannya, atau lembaganya. Tetapi yang kemudian membedakan adalah kesadaran manakah yang paling mendominan. Sejauh bukan didominasi oleh kesadaran untuk meng-educate murid, sepertinya kita telah memilih jalan yang salah. Sebelum kesalahannya jauh, mari kita putar arah.
Merealisasikan Kesadaran
Untuk bisa menjadi pendidik yang mencerahkan, pastinya tidak cukup hanya berhenti di kesadaran. Harus kita lanjutkan pada terbentuknya paradigma dan pendekatan yang lebih mencerahkan terhadap berbagai isu-isu pendidikan yang sehari-hari kita hadapi.
Jangan Minta Digugu Dan Ditiru
Ketika murid-murid kita saat ini nanti menjadi dewasa, kita mungkin sudah tua atau meninggal dunia. Bayangkan jika misalnya kita meminta mereka untuk menggugu dan meniru kita, apa jadinya? Mereka mungkin menjadi orang yang terbelakang di zamannya karena referensinya kita yang sudah tua. So, jangan meminta digugu dan ditiru.
Ungkapan itu hanya perlu kita pahami sebagai motivasi pribadi untuk terus berusaha menjadi orang yang kredibel dan bisa dipercaya secara komitmen dan moral. Atau, kita terima sebagai penghargaan sosial yang perlu kita hargai. Selebihnya, hubungan kita dengan murid adalah hubungan yang membuka, mendorong, menyalakan, atau mengeluarkan (mencerahkan). Dan yang lebih penting lagi, kita memaafkan masyarakat, pemerintah, dan yayasan yang masih kalah dengan negera Thailand, Philipine, Malaysia, Vietnam, dan Brunei dalam menggaji guru. Sebab, jika tidak memaafkan, jiwa ini akan terbebani dan sangat mungkin kita menjadi pendidik yang membebani. Semoga bermanfaat.
Sumber: e-psikologi.com