Kelompok remaja atau biasa disebut geng adalah fenomena yang sangat biasa, selalu terjadi pada setiap zaman. Teori-teori psikologi mendefinisikan masa remaja sebagai masa “badai”, masa penuh gejolak pencarian identitas diri yang ditandai dengan sikap pemberontakan terhadap segala hal yang dianggap berada di luar konsep dirinya. Masa muda para orang tua saat inipun tidak lepas dari warna dan keriuhan aktivitas per-geng-an.
Menjadi tidak wajar ketika geng-geng itu berubah sebagai kelompok kekerasan. Walau tidak dipungkiri, pada masa lalu pun, geng-geng remaja sudah terlibat perseteruan dan kekerasan di antara kelompok-kelompok yang ada. Unjuk eksistensi diri dan kelompok diwujudkan dengan cara menyerang kelompok lain, baik secara verbal maupun fisik. Dalam hal modus dan operasi, geng remaja saat ini juga “sangat berkembang”.
Semua itu tidak lepas pula dari faktor teknologi komunikasi dan informasi. Anak-anak muda yang memang sudah mahir menggunakan peranti gadget informasi. Sisi positif kemudahan komunikasi membawa pula dampak buruk, dalam arti konten informasi yang buruk pun menjadi lebih cepat tersebar, dikonsumsi, dan mempengaruhi pola pikir serta perilaku remaja dan anak muda. Fenomena geng motor tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor itu.
Pada era 80-an dan sebelum itu, geng-geng anak muda masih bersifat terlokalisasi secara geografis dan fisik, sehingga geng-geng tersebut hanya bersifat lokal. Dengan dukungan peranti informasi saat ini, geng-geng seperti itu telah berubah wujud menjadi semacam jaringan yang dapat bertukar informasi secara mudah dan cepat. Geng motor adalah salah satu contoh betapa sebuah geng lokal bisa berskala nasional dan karena itu butuh penanganan berbeda.
Barangkali, tidak banyak dari kita para orang tua yang menyadari bahwa geng motor tersebar di berbagai kota di Indonesia. Ketika geng motor Semarang terlibat dalam kekerasan yang sudah tergolong kriminal berat, faktor jaringan itu tidak boleh dilupakan ketika kita ingin berbicara tentang pengendalian aktivitas berkelompok para remaja. Kekerasan kriminal geng motor Semarang jangan sampai menjadi budaya kekerasan remaja.
Itulah tantangan zaman yang harus disikapi dengan cerdas oleh para keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat, aparat penegak hukum, dan pemerintah. Pendekatan konvensional normatif otoritarian tidak akan mampu mengejar pergolakan mindset kelompok muda yang sudah sedemikian massif mengalami intrusi nilai-nilai. Ciptakan lingkungan yang mencerdaskan agar kita bisa menyembuhkan perilaku kekerasan geng-geng remaja. (//suaramerdeka.com)