Buku, Tetap Perlu

Setiap tanggal 17 Mei, sejak 1980, diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan kesadaran dan menggiatkan masyarakat dalam membaca buku. Terlebih bagi para akademisi, buku tentu menjadi sangat
penting, karena dari situlah berbagai macam ilmu bisa dipelajari dan dikaji.
Buku adalah sahabat para ilmuwan. Ma­ka, menjadi sangat aneh jika mahasis­wa tidak bersahabat dengan buku. Namun, ketika melihat realitas ma­hasiswa saat ini, mungkin asum­si tersebut bisa jadi tidak aneh lagi. Sebab, diakui atau tidak, budaya membaca di kalangan akademisi saat ini semakin menurun.
Buku adalah jendela dunia. Maka, dengan buku kita akan bisa melihat dunia secara menye­luruh. Sebab, ilmu-ilmu yang di­gunakan untuk menaklukkan du­nia semua terdapat dalam buku. Dengan kata lain, ketika seseorang ingin me­nguasai dunia, maka harus mengua­sai buku terlebih dahulu.
Begitu urgennya sebuah buku, sampai-sampai Thomas Stearns Eliot, seorang sastrawan Amerika pernah menulis ”Sulit membangun peradaban tanpa budaya tulis dan baca”. Hal ini memang bisa dipahami, bahwa budaya yang dipandang beradab saat ini adalah budaya tulis dan baca. Sebab, dalam sejarah per­kembangan manusia, zaman yang pertama kali adalah masa praaksara (belum mengenal tulisan). Karena itulah, saat ini yang dianggap beradab adalah bangsa yang budaya tulis menu­lis­nya kuat.
Namun, kondisi itu berbeda dari keadaan bangsa Arab di ma­sa Nabi Muhammad saw. Pada masa itu, budaya yang dianggap cerdas dan beradab adalah bu­daya menghafal, sehingga orang yang menggunakan tulisan sebagai alat ilmu pengetahuan lebih dipandang sebagai orang yang bodoh. Hal ini dibuktikan de­ngan banyak­nya orang yang ha­fal Alquran dan hadis ketika itu. Tentu saja hal itu bisa dibe­nar­kan, karena orang Arab memang terkenal dengan hafalannya yang kuat, sehingga otaknya dipaksa untuk selalu berpikir dan mengingat sesuatu.
Kisah Al-Ghozali
Untuk saat ini, budaya menghafal memang dipandang sulit dan menjadi sangat langka. Para akademisi saat ini lebih cenderung memilih menulis sebagai media untuk mengikat ilmu, bukan menghafal. Tentu ini berbeda dari yang dikatakan para pujangga Arab, bahwa al-ilmu fi sudur, la fi sutur (ilmu itu di dada, bukan di kertas).
Ada cerita lucu, tetapi bisa jadi pelajaran dan diambil kesimpulannya. Suatu saat, Imam Ghozali (filsuf dan salah seorang ulama Islam terkenal) pulang dari perantauannya mencari ilmu. Di tengah jalan, ia dicegat oleh para perampok. Ghazali berkata, ”Ambillah semua hartaku, tetapi jangan kalian ambil buku-bukuku, karena ilmu-ilmuku ada di dalam buku itu”. Kemudian para perampok itu tertawa bersama-sama, dan berkata, ”Ilmu itu di dada, bukan di buku, wahai Syeikh”. Ketika itu, Ghazali malu dan menyadari bahwa ilmu itu memang di dada, bukan dibuku.
Jika kita memahami cerita di atas, tentu menjadi sangat ironis jika saat ini banyak orang yang enggan membaca buku, tetapi juga tidak mempunyai ilmu di dada. Maksudnya, Imam Gha­zali yang hafalannya kuat saja, mau membawa dan membaca buku-buku ilmu pengetahuan, apalagi orang yang hafalannya lemah. Tentu bisa disimpulkan sendiri. Memang menaruh ilmu di dada adalah sebuah upaya internalisasi ilmu pengetahuan, tetapi hal itu akan sulit jika tidak didampingi dengan buku, terlebih di tengah kondisi orang-orang yang hafalannya lemah.
Godaan Teknologi
Buku memang sumber ilmu pengetahuan yang tak lekang oleh zaman. Oleh sebab itu, menjadi­kan buku sebagai sahabat adalah ke­niscayaan. Namun, saat ini, buku sepertinya kalah pamor dengan teknologi. Internet dan televisi menjadi musuh terberat buku, jika tidak dugunakan dalam hal yang positif. Bisa kita lihat hari ini, masyarakat Indo­nesia keba­nyak­an lebih enjoy dan asyik dengan televisi atau berhadapan dengan laptop untuk berselancar di dunia maya. Situs jejaring sosial; semacam twitter dan facebook menjadi wahana untuk menghabiskan waktu sehari-hari.
Tentu saja ini sangat berbahaya jika dibiarkan. Untuk mengantisipasi hal itu memang sulit dan butuh usaha yang kuat. Peran orang tua terhadap anak mulai sejak dini harus digiatkan untuk mengantisipasi dan mencegah generasi yang lebih parah kualitasnya. Bagi mahasiswa dan akademisi yang lain, introspeksi adalah jalan yang paling bijaksana. Menyadari bahwa buku memang tidak bisa disepelekan adalah suatu keharusan.
Untuk membantu penya­dar­an itu, perlu kita mengetahui bahwa para ilmuwan terdahulu sangat ”gila” dengan buku. Tak ha­nya mengonsumsi, dengan membaca dan menerjemahkan ilmu pengetahuan, tetapi juga memproduksinya, dengan me­nu­lis­kan pemikirannya dalam sebuah buku.
Para ilmuwan terkenal, semisal Plato, Aristoteles, Karl Marx, Max Weber, Ibnu Sina, Al-Gha­zali, Ibnu Rusyd, dan Al-Farabi adalah sedikit contoh yang menggunakan buku sebagai tempat menggali ilmu pengetahuan dan mencurahkannya (dengan menulis).
Di Indonesia, kita mengenal Nurcholish Madjid, KH Abdur­rahman Wahid (Gus Dur), dan Quraish Shihab sebagai orang-orang yang gila buku, sehingga pada akhirnya mereka menghasilkan karya-karya yang diakui oleh masyarakat luas, khususnya para akdemisi.
Sekarang ada e-book (buku elektronik), tentu akan semakin mempermudah dalam mengaksesnya di tengah kemajuan tek­nologi dan informasi. (24)

—Mokhamad Abdul Aziz, mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Walisongo Semarang, Sekretaris of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS/suaramerdeka.com).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *