Media Sosial Ancam Media Konvensional

Sejumlah studi menyebutkan, 2/3 pengguna internet di seluruh dunia mengunjungi media sosial seperti Facebook dan Twitter, dengan melupakan media konvensional seperti koran.
Menurut Wakil Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA Akhmad Kusaeni, 51 persen orang berusia 18 hingga 24 tahun percaya bahwa sosial media lebih cepat menyajikan berita terkini di dunia daripada media tradisional.
Apakah media sosial tengah mengancam kehidupan media konvensional?
“Kalau orang bilang media sosial ancaman bagi media mainstream, jawabannya bisa ya bisa tidak,” kata pendiri detik.com Budiono Darsono pada seminar literasi media di Jakarta, Kamis kemarin.
Menurut Budiono, kehadiran media sosial justru menjadi tantangan bagi wartawan dan perusahaan-perusahaan media konvensional.
Mungkin ya ini bukan ancaman bagi media konvensional, karena ketika dulu radio dianggap mematikan industri penerbitan media cetak, ternyata terbukti tidak benar karena hingga kini koran masih dinikmati para pembaca setianya.
CEO Kompas Gramedia Agung Adi Prasetyo bahkan optimistis internet tidak akan memunahkan media konvensional.
Menurut Agung, yang nyata menjadi pesaing media cetak sekarang adalah media televisi, radio, dan media digital.
“Edisi cetak dipersepsi sebagai trusted media dan sumber informasi kredibel karena banyaknya hoax di online dan sosial media,” kata Agung.
Dia mengatakan, yang mesti dilakukan media konvensional dalam menjawab tantangan media sosial agar tetap bertahan adalah selalu kreatif baik dari sisi konten maupun bisnis.
Caranya, dengan investasi pada pre-press dan percetakan serta kreatif premium dan inovasi redaksi, kata Agung.
Referensi awal
Sebaliknya, Chief Editor PlazaMSN Wicaksono menyebutkan media *mainstream* tak bisa melepaskan diri dari perkembangan internet karena internet menjadi sumber berbagai informasi bagi masyarakat dunia.
Kini dan seterusnya, semua orang bahkan dapat menyampaikan informasi terkini secara bebas melalui media sosial dalam satu wadah yang dinamai jurnalisme warga (citizen journalism).
Mungkin banyak informasi “sampah” di media sosial sehingga media konvensional yang sudah mendaulat dirinya sebagai penyampai kebenaran, enggan merangkulnya.
“Media mainstream itu tentang word of truth, namun bukan berarti media sosial tidak menyampaikan kebenaran,” kata Budiono.
Budiono mengistilahkan media sosial seperti Twitter sebagai sarana percakapan semua orang tentang berbagai hal yang benar maupun yang belum tentu benar.
Untuk itulah, menurut Budiono, informasi yang didapat dari media sosial dapat dipakai sebagai referensi awal dalam membuat berita.
Media sosial dapat dimanfaatkan media mainstream untuk memantau dan mengoreksi berita.  Tidak itu saja, media sosial juga bisa memakmurkan perusahaan-perusahaan media mainstream.  Contohnya, tentu saja, detik.com. “Satu twit iklan di detik.com itu dijual Rp20 juta,” kata Budiono.
Senada dengan Budiono, Coorporate Communication PT Media Nusantara Citra (MNC) Arya Mahendra Sinulingga menilai media sosial dan media mainstream bisa saling menguatkan.
“Misalnya saja bintang film yang memiliki follower besar itu kan karena dibesarkan oleh media mainstream,” kata Arya.
Sebaliknya, berita-berita bisa tersebar luas dan populer pada masyarakat karena bantuan media sosial.
“Tidak ada pertentangan antara media sosial dengan media mainstream. Ini adalah sinergi besar, bukan ancaman,” ujar Arya.
Sinerji
Yang tinggal dilakukan media konvensional kini adalah menjaga kredibilitas jurnalistiknya.  Media konvensional hanya dapat bertahan di tengah sosial media yang semakin digemari, dengan tetap mengelola integritas dan konsistensinya dalam menjaga konten.
Untuk itu, berbeda dari jurnalisme warga, wartawan biasa harus mematuhi kaidah-kaidah jurnalistik saat menghimpun informasi untuk sebuah berita.
“Kompetensi jurnalis murni dan jurnalis warga itu berbeda jauh sekali sehingga jurnalis murni sudah jauh berkualitas di atas jurnalis warga,” ujar Wicaksono.
Bagaimana pun kredibilitas dan kebisadipercayaan adalah nomor satu dalam bisnis media.  Berita adalah informasi yang diolah dengan semangat dan keterampilan profesionalisme wartawan dengan tujuan mengabdi kepada publik dan kemanusiaan, kata Akhmad Kusaeni.
Sisi ini pula yang disadari para pelaku jurnalisme warga sehingga kini banyak sekali dari mereka mengikuti pelatihan-pelatihan jurnalistik singkat.
Ini bukti bahwa dalam bisnis media, kualitas dan konsistensi informasi tersebar, adalah yang utama.  Akurasi dan verifikasi informasi tetap menjadi ranah media konvensional yang mengedapankan kebenaran dan mengabdi pada publik.
“Apabila media tradisional mempertahankan kebenaran tersebut, maka mereka akan tetap hidup, karena pengguna sosial media akan tetap mencari kebenaran melalui media tradisional,” ujar Akhmad Kusaeni.
Masalahnya, media sosial memberi pilihan dan sarana baru bagi masyarakat yang ingin mengenal dunia lebih cepat.
“Ini perkembangan zaman yang harus diwaspadai media mainstream, karena bagaimanapun content is the king, but distribution (media sosial) is the Kingkong,” kata Wicaksono.
Mungkin memang media sosial tidak tepat disebut ancaman, sebaliknya media sosial dan media konvensional mesti bersinerji demi memenuhi kehausan masyarakat akan informasi, sekaligus demi membuat media mainstream tetap relevan dengan zaman.
Sumber: kompas.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *