Menyepi dan Kesepian

Emosional & Sosial
Baik dalam teorinya dan prakteknya, ternyata ada sedikit perbedaan antara orang yang kesepian dan orang yang sedang menghadapi keadaan sepi. Misalnya saja orang-orang di rumah kita sedang mudik ke kampung pada saat lebaran. Dari yang asalnya ramai lantas tiba-tiba sepi, tidak ada suara canda dan tangisan. Pada saat itu, bisa jadi kita hanya menghadapi keadaan yang tidak ramai di rumah atau sendirian, tapi belum tentu pas untuk disebut orang kesepian. Merasa kesepian bisa terjadi pada saat keadaan ramai atau sepi. Kesepian lebih terkait dengan persoalan losing relationship atau connectedness atau persoalan jiwa / batin.
Kalau membaca bukunya Donelson R. Forsyth (Social Psychology: 1987), di sana ada istilah kesepian sosial dan kesepian emosional. Kesepian sosial terjadi ketika kita mengalami kesepian karena hubungan personal yang terlalu sedikit atau tidak memuaskan sehingga kita merasa tidak happy atau satisfied. Contoh di atas bisa disebut juga kesepian sosial. Kesepian model ini bersifat sementara dan tidak akan membahayakan sejauh kesepian itu di kelola secara positif.
Hal perlu kita waspadai adalah munculnya kesepian emosional. Kesepian emosional terjadi ketika kita merasa hidup ini kurang punya arti / makna (contented), atau tidak memiliki hubungan yang membahagiakan. Situasi ini kemungkinan terjadi saat seseorang mengalami putus cinta, perceraian, atau gagal dalam mencapai sesuatu, misalnya gagal menjadi anggota dewan, dan lain-lain sehingga muncul perasaan “telah dihempaskan”.
Jika tidak segera ditemukan penyiasatan batin yang kreatif, sangat mungkin akan memunculkan reaksi emosi yang kurang mendukung kesehatan jiwa. Bentuknya antara lain:

1. Desperation (keputusasaan): mudah panik, merasa putus asa, merasa disingkirkan

2. Boredom (kebosanan):  tidak sabaran, malas-malasan, atau khawatir
3. Deprecation (mencela diri): merasa tidak menarik, malu, merasa tidak percaya diri
4. Depression (depresi): merasa kosong, sedih, tertekan
Dalam beberapa kasus, apa yang disebut dengan reaksi emosi itu tidak saja memberikan efek negatif pada tingkat hubungan kita dengan diri sendiri. Hubungan kita dengan orang lain pun seringkali terkena imbasnya. Misalnya, tidak sabaran akan membuat kita sulit bertoleransi, mudah merasa disingkirkan, akan membuat kita suka menuntut perhatian yang istimewa, dan seterusnya. Ini kerap menganggu hubungan kita dengan orang lain.
Mewaspadai Rasa Malu
Kalau bicara rasa malu, mungkin semua orang punya. Cuma, rasa malu itu bermacam-macam sehingga perlu kita audit. Ada rasa malu yang sangat positif dan sangat dianjutkan. Bahkan oleh agama disebut sebagai cabang keimanan. Jika kita tidak malu lagi mendemonstrasikan perbuatan yang tidak senonoh, tidak sewajarnya, tidak sepatutnya, berarti iman dalam diri kita belum ada cabangnya.
Ibarat pohon, kalau cabangnya belum tumbuh, mungkin buahnya juga masih lama diharapkan muncul. Rasa malu seperti ini bisa disebut sebagai ketajaman sensitivitas moral, yang sering disebut sebagai kekayaan bangsa yang telah mulai punah, karena tergerus oleh nafsu kepentingan materialisme pribadi. Hilangnya rasa malu seperti ini sangat berpotensi membuat orang bertindak “suka-suka gue dong”.
Apa yang dilakukan oleh almarhum Presiden Korea yang beberapa bulan lalu bunuh diri karena program pemberantasan korupsinya dilanggar oleh keluarga  sendiri, begitu menurut pemberitaan media, bisa punya makna ganda jika dilihat dari sini. Bunuh diri itu negatif menurut standar ajaran manapun. Tetapi, kata tulisan dalam buku Handbook of Marriage and Couples (Edited by: W. Kim Halford, dkk: 1977)
“…..in practical life, not all negatives are negative”
Artinya, jika dilihat dari komitmen rasa malu moral, maka pelajarannya menjadi positif. Sisanya, Tuhanlah yang  menilai.   
Ada lagi rasa malu yang masih normal atau tidak disebabkan oleh hal-hal yang terkait dengan rendahnya moral dan juga tidak memberikan efek yang membahayakan. Misalnya kita termasuk orang yang tidak terlalu biasa bertemu dengan orang lawan jenis lebih dari satu, tidak biasa berbicara di depan publik, tidak biasa berjoget, dan seterusnya. Mungkin ini bisa disebut rasa malu mental. Sejauh kita menginginkan itu bisa dikurangi, maka latihan dan pergaulan akan bisa menyelesaikannya.
Yang terkait dengan bahasan kita ini adalah rasa malu karena merasa tidak sukses atau tidak kaya atau tidak hebat. Pelampiasannya bermacam-macam, misalnya tidak mau mudik ke kampung, tidak mau bertemu teman sealmamater, menghilang dari peredaran, pergi ke luar negeri atau merantau ke tempat yang jauh. Ini pun tidak bisa langsung dihakimi positif atau negatif. Jika itu kita jadikan sebagai pemacu diri, pemerkuat komitmen untuk program pencapaian diri, dalam batas yang masih bisa dikontrol atau sebagai siasat diri semata, mungkin itu masih ada positifnya, walaupun barangkali itu ada yang menyalahkan atau menyayangkan. Seperti kata ungkapan di muka,  “In practical life, not all negatives are negative.” 

Tapi, jika kita hanya berhenti pada merasakan rasa malu saja (menanggung beban malu), tidak ada program yang kita perjuangkan, tidak ada letupan emosi yang kita ledakkan menjadi motivasi, maka rasa malu seperti inilah yang perlu kita hentikan / waspadai. Jangan-jangan itu muncul karena kita tidak merasa meaningful, contented dan satisfieddengan keadaan diri atau kesepian?

Mengatasi Kesepian
Baik kesepian sosial dan emosional, keduanya masih bisa diatasi, minimalnya dikurangi, asalkan ada proses yang kita jalani. Kalau merujuk ke saran-saran Donelson R. Forsyth dan  juga pengalaman banyak orang, proses yang dibutuhkan itu antara lain adalah:
  1. Buatlah program pengembangan diri yang benar-benar bisa kita capai dan itu menurut kita akan membuat hidup kita lebih bermakna (standar prestasi)
  2. Jalankan prosesnya secara terus menerus sesuai keadaan kita. Seimbangkan antara mengejar target dan kepasrahan pada Tuhan
  3. Lakukan usaha yang bisa mendukungnya, misalnya membaca buku, bergaul dengan orang yang bisa membuka jalan, dan seterusnya
  4. Mulailah berpikir secara spiritual atau tentang makna hidup, terutama terhadap hal-hal yang tidak kita inginkan, misalnya gagal, musibah, dst
  5. Perbanyak kebaikan pada orang lain, misalnya menolong, mengunjungi, dll, untuk mengundang datangnya kebaikan yang tidak disengaja.  
Jika itu bisa kita lakukan, lama kelamaan akan muncul kualitas hubungan yang berarti antara kita dengan diri sendiri sehingga dapat mengurangi munculnya kesepian emosional. Adapun untuk mengatasi kesepian sosial, kita bisa menjalankan saran-saran di bawah ini:
  1. Menambah kontak sosial dengan tetangga, di kantor atau di organisasi sosial.
  2. Menjalankan kegiatan tambahan yang tidak mengundang persoalan, misalnya menonton film, membaca buku, atau mencari bahan yang berguna di internet
  3. Memperbaiki penampilan fisik supaya lebih pede dalam bergaul, misalnya  menjadi lebih bersih, pakaian yang lebih mendukung, dan seterusnya.
  4. Menjalin hubungan yang lebih dalam terhadap orang-orang sekitar, tidak sekedar say hello 
  5. Memunculkan cinta baru. Hilangnya cinta itu bukan karena ada orang lain yang mengambilnya,  tetapi karena kita tidak memunculkan yang baru. 
”Hilangnya cinta itu bukan karena ada orang lain yang mengambilnya, 
tetapi karena kita tidak memilikinya.”
Bagaimana Dengan Menyepi?
Menyepi itu bukanlah semata praktek fisik, tetapi lebih ke praktek mental-spiritual yang sangat dibutuhkan atau sangat positif. Menyepi dapat didefinisikan sebagai sebuah kesadaran untuk berdialog dengan diri, tentang diri sendiri, terhadap diri sendiri, pada saat kita sendirian, self communicaton, self talk, self dialogue. Atau bisa juga dipahami sebagai kesadaran untuk merenung sendirian melalui perantara teks, misalnya melalui teks Kitab Suci, relaksasi, dan lain-lain.  Menyepi ini bisa dilakukan dalam keramaian atau di tempat yang sepi yang telah kita pilih, tergantung mana  yang enak buat kita.
Untuk kita yang hidup di era dan suasana industrialis, dimana sebagian besar waktu kita telah tergunakan untuk memenuhi tuntutan eksternal (target kantor, rapat, nongkrong, dst) atau untuk menanggung beban kekacauan sosial (kemacetan, dll), maka menyepi ini menjadi penting. Kalau tidak kita jalankan, konsekuensinya bisa kehilangan kontaks dengan diri sendiri.
Hilangnya kontak ke dalam diri dapat menimbulkan rendahnya kesadaran visi hidup, rendahnya pencernaan makna hidup (spiritual), dan motivasi positif. Bahkan sangat mungkin akan mengundang datangnya momen dimana yang kita tahu dari hidup kita hanyalah beban-bebannya saja, bukan pencapaiannya; kekurangannya saja, bukan kecukupannya. Itulah kenapa sampai ada semacam thesis bahwa yang membuat orang korup itu bukan tidak kaya, tetapi karena tidak connected dan tidak contenteddengan the inner-self.  
Orang-orang zaman dulu menggunakan kesadaran untuk menyepi ini untuk mendapatkan pencerahan baru, pemahaman baru, dan kesadaran baru, yang kemudian kita kenal dengan isitilah bersemedi, bertapa, dan lain-lain.  Didukung dengan kemampuan membebaskan diri dari keterikatan dunia materi yang sangat terlatih, maka hasil menyepinya itu menjadi wisdom yang valid sampai sekarang.  
Bahkan kalau melihat sejarah para nabi, menyepi ini juga kerap menjadi prosesi untuk menyambut datangnya wahyu, misalnya Nabi Musa dengan Lembah Tur Sina-nya, Nabi Muhammad dengan Gua Hira-nya, dan lain-lain. Sampai dalam berdoa pun ada keistimewaan sendiri untuk yang berdoa tengah malam (sepi dan menyepi) atau sebelum munculnya fajar dimana kebanyakan orang masih tidur.
”Yang membuat orang korup itu bukan tidak kaya,
tetapi karena tidak connected dan tidak contented dengan the inner-self. ”
Evaluasi Konstruktif
Target kita menyepi haruslah evaluasi konstruktif, entah untuk pribadi, organisasi, keluarga, atau masyarakat yang kita pimpin. Kalau bisa, kata seseorang yang belum lama ini akrab ngobrol dengan saya, pilihlah tempat yang membuat kita akrab dengan alam dan tumbuh-tumbuhan. Evaluasi konstruktif itu adalah berbagai catatan yang nantinya akan kita jadikan pedoman atau petunjuk untuk membuat hidup kita lebih tercerahkan, lebih matang, lebih kuat, lebih maju, dan seterusnya. Intinya, jangan membikin evaluasi destruktif atau catatan yang membuat hidup kita makin tidak jelas. Jika disederhanakan, dengan meminjam istilah dalam Spiritual Kejawen, target menyepi itu adalah 3W:
W 1 = Waskito (clear thinking): berpikir lebih jernih mengenai What’s next, apa yang akan kita lakukan, apa yang bisa kita lakukan, apa prioritas, dan seterusnya.
W 2 = Waspodo (alert): lebih tajam dalam merasakan resiko, akibat, bahaya, ancaman, potensi kegagalan, dan seterusnya.
W 3 = Wicaksono (wise): lebih bisa memahami kontradiksi, lebih bisa menempatkan diri pada posisi dan porsi, lebih fokus pada bagaimana menyikapi kenyataan, bukan mengutuk atau membiarkan.  
Semoga bisa kita praktekkan!
 Sumber: e-psikologi.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *