Melongok Komunitas Muslim di Bali Utara

Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng, berada di lereng Bukit Gitgit, satu di antara jajaran perbukitan yang memisahkan Bali bagian utara dengan wilayah selatan.
Jaraknya sekitar 70 kilometer sebelah utara Kota Denpasar melalui  ruas Jalan Raya Mengwi-Bedugul. Desa dengan luas 1.584 hektare itu dihuni 999 kepala keluarga atau setara 4.821 jiwa. Dan, hanya 477 orang penduduk desa itu yang beragama Hindu.
Tak sulit mencari lokasi desa ini, meskipun berada di balik bukit yang dikelilingi kebun cengkih dan kopi. Menjelang Pegayaman, terpasang papan penunjuk arah yang terlihat jelas oleh pengguna jalan.
Jalan raya menuju desa itu seluruh permukaan aspalnya mulus, sedangkan jalan-jalan desa yang lebih sempit diperkeras dengan semen.
Pegayaman terbagi dalam empat banjar atau dusun adat, yakni Banjar Dauh Rurung, Banjar Dangin Rurung, Banjar Kubu, dan Banjar Mertasari. Setiap banjar dipimpin seorang kelian sebagai kepala dusun adat di Bali.
Uniknya, umat Islam di Desa Pegayaman membubuhi nama urutan keluarga sesuai tradisi Bali, seperti Wayan, Putu, atau Gede untuk anak pertama; Made, Kadek, atau Nengah (anak kedua); Nyoman, Komang, atau Koming (anak ketiga); dan Ketut (anak keempat), di nama depan mereka yang berbau Islami.
“Assalamu’alaikum, Pak Ketut Ahmad Ibrahim!”
“Wa’alaikum salam, Wayan Arafat!”
Kalimat sapaan seperti itulah yang sering kali terdengar di kampung Muslim Pegayaman itu. Mencantumkan nama tambahan berdasarkan urutan dalam keluarga di Bali bukan monopoli umat Hindu. Umat kristiani asli Bali pun mencantumkan urutan nama itu, seperti Wayan Cristian Budiman, Ni Komang Clara Shinta, dan lain sebagainya.
Umat Islam di Pegayaman asli penduduk Bali. Mereka bukan kaum urban yang hidup di perkotaan, seperti di Denpasar, Negara, dan Kuta. Kaum muslim di Pegayaman mayoritas bertani dan berkebun.
“Kami bukan pendatang, kami penduduk Bali asli,” kata H Nengah Abdul Gofar Islami, tokoh masyarakat Desa Pegayaman yang dikenal sebagai imam desa.
Memeluk Islam tak membuat tata cara kehidupan penduduk Pegayaman berbeda dengan penganut agama Hindu sebagai agama mayoritas di Pulau Dewata.
Perbedaan mencolok hanya tampak dari hiasan rumah. Umat Islam Pegayaman tidak menggunakan ukir-ukiran yang merupakan hal wajib bagi rumah adat di Bali.
Rumah penduduk muslim juga tidak dilengkapi bangunan sanggah yang menjadi tempat persembahyangan keluarga di salah satu sudut rumah warga Hindu di Bali.
Sudah belasan tahun Gofar menjadi tokoh masyarakat di Pegayaman. Dia merasakan tidak adanya perbedaan yang mencolok dengan umat Hindu. “Kami tidak merasa berbeda, kecuali dalam syariat,” kata purnawirawan TNI itu.
Ia pun menganggap umat Islam di Pegayaman tidak merasa eksklusif. Menjelang Nyepi, umat Islam ramai-ramai membantu tetangganya yang beragama Hindu membuat dan mengarak “ogoh-ogoh”.
Pada saat Nyepi pun, mereka menghentikan aktivitas sehari-hari dan berdiam diri di dalam rumah untuk menghormati umat Hindu yang melaksanakan ritual Tapa Berata. Demikian halnya pada Hari Raya Galungan dan Kuningan, umat Hindu turut memberikan makanan kepada tetangganya yang muslim. “Makanan yang kami berikan, tentutnya halal,” kata Nyoman Nesa (65), warga Pegayaman.
Sebaliknya, saat Lebaran dan Hari Raya Kurban, umat Islam yang melakukan tradisi “ngejot” atau memberikan makanan kepada tetangga sekitar rumah.
Menjelang hari besar umat Islam, umat Hindu di Pegayaman turut membuat penjor. Mereka menggelar tari-tarian tradisional, memasak makanan lebih banyak, dan anak-anak memakai baju baru.
Prajurit Jawa
Islam di Desa Pegayaman sudah ada sejak Raja Buleleng, Panji Sakti, berkuasa pada abad ke-15. Menurut I Ketut Ahmad Ibrahim, sesepuh Desa Pegayaman, pada saat Panji Sakti berkuasa pernah mendapat hadiah seekor gajah dan 80 prajurit dari Raja Surakarta di Jawa Tengah.
“Hadiah itu sebagai bentuk persahabatan antara kedua kerajaan. Prajurit dari Jawa itu ditempatkan di Desa Pegayaman untuk membentengi Puri Buleleng dari serangan prajurit kerajaan di Bali bagian selatan, seperti Raja Mengwi dan Raja Badung,” katanya.
Para prajurit dari Jawa Tengah kemudian menetap dan berbaur dengan penduduk desa lainnya. “Itu cerita yang saya terima dari orang-orang dulu,” kata Ketut Ibrahim.
Legenda tidak harus tertulis. Apalagi dalam lontar dan referensi sejarah raja-raja di Bali yang tersimpan di Gedong Kirtya, Singaraja, tidak ada catatan khusus mengenai sejarah Islam di Pegayaman itu.
Dalam Babad Dalem, dokumen tentang raja-raja di Bali yang tertulis hanya masuknya Islam ke Bali secara umum, seperti agama Islam masuk di Bali pada abad ke-5 pada masa pemerintahan Raja Gelgel di Klungkung. Gelgel mendapat bantuan 40 prajurit dari Raja Majapahit.
Namun, dalam lontar tidak disebutkan nama Raja Majapahit yang mengirimkan pasukan ke Klungkung itu.
Kedatangan para prajurit Jawa itu diikuti arus migrasi dari Jawa, Madura, Bugis, dan Sasak, Lombok. Beberapa dari mereka inilah yang kemudian menetap di Pegayaman.
Ada juga catatan dalam sebuah lontar tentang sekelompok kaum urban yang datang ke Buleleng pada masa pemerintahan I Gusti Ketut Jelantik pada 1850 Masehi.
Rombongan itu diduga berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan. Hal itu dapat dilihat bahwa sampai saat ini, tetua Desa Pegayaman adalah seorang keturunan Bugis. Mereka menetap di Desa Pegayaman yang berjarak sekitar sembilan km dari Singaraja sebagai Ibu Kota Kabupaten Buleleng. Di desa itulah mereka menetap dan berbaur dengan warga asli Pagayaman yang beragama Hindu hingga beranak-pinak.
Perkawinan Silang
Dalam masalah perkawinan, ada kesepakatan tak tertulis di antara penduduk Muslim dan Hindu di Pegayaman. Bila pihak pria beragama Islam, istri mengikuti agama suaminya. Begitu pula sebaliknya. Perkawinan di Bali memang menganut sistem patrilinial. Proses ke jenjang perkawinan di Pegayaman berbeda dengan masyarakat desa sekitar.
Bila seorang pemuda bertandang ke rumah gadis, mereka tak boleh bertemu langsung. Si gadis tetap berada di dalam kamar, sedangkan pria di luar.
“Kami ngobrol lewat sela-sela daun pintu atau jendela yang tetap tertutup,” kata Wayan Jamil (20) menuturkan pengalaman kencan dengan kekasihnya.
Namun, pasangan yang tidak terikat hubungan asmara malah diperbolehkan bertemu langsung. Hanya saja waktu pacaran dilarang pada malam hari karena gadis atau remaja putri di desa itu tidak boleh keluar rumah setelah magrib.
Tidak disebutkan hukuman bagi pelanggar aturan itu. “Saya tak tahu hukumannya, karena belum pernah mendengar ada yang melanggar,” kata Jamil.
Pada saat Ramadhan, umat Hindu menghormati tetangga muslimnya yang berpuasa. Pada saat Lebaran umat Hindu ada yang “ngejot” ketupat.
Sumber: kompas.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *