Sekilas Konsep

Kita semua pasti pernah mendengar kata ‘Konsep’ yang kalau didefinisikan oleh Woodruff (dalam Amin, 1987), mendefinisikan konsep sebagai berikut: (1) suatu gagasan/ide yang relatif sempurna dan bermakna, (2) suatu pengertian tentang suatu objek, (3) produk subjektif yang berasal dari cara seseorang membuat pengertian terhadap objek-objek atau benda-benda melalui pengalamannya (setelah melakukan persepsi terhadap objek/benda).
 
Terlepas dari arti secara definitif, konsep merupakan ‘ruh’ dari suatu aktivitas yang secara komprehensif akan menentukan sukses tidaknya sebuah kegiatan, target, program yang menjadi keinginan suatu institusi atau individu. Yang perlu diingat adalah bahwa konsep hanyalah embrio, tunas, awal bukannya akhir dari sesuatu dan bukan penentu sebuah outpu yang ingin dicapai, dalam artian sebagus apapun konsep kalau hanya berhenti ditingkatan pemikiran, ide, gagasan tanpa adanya pelaksanaan bisa kita bilang ‘omong kosong’ belaka.
 
Konsep seperti halnya kita adalah sesuatu yang bersifat ‘sosial’ yang membutuhkan elemen lain sebagai pelengkap atau secara gamblangnya konsep tidak bisa berdiri sendiri untuk menghasilkan ‘sesuatu’ yang aktual. Dalam beberapa langkah ilmiah dikenal adanya rangkaian PDCA (Plan, Do, Check, Action), atau PAOC (Plan, Action, Organizing, Control). Disini kita lihat bahwa konsep/plan hanyalah rangkaian awal dari suatu mata rantai kegiatan yang tidak bersifat individual, tetapi menempati posisi yang elegan karena tanpa konsep suatu kegiatan tidak akan terlaksana, kalaupun terlaksana akan terkesan acakadul.
 
Mengapa konsep terkadang tidak berjalan sesuai rencana ???
 
Yang perlu diperhatikan adalah
1. Possible Doing
Konsep merupakan ide/gagasan kita secara pribadi maupun ada team khusus yang merancangnya, ketika mengambil study kasus di lapangan konsep terasa aktual dan mengena khususnya berkaitan dengan kelancaran aktivitas di lapangan. Tetapi dalam beberapa hal konsep hanya mengacu pada ‘keinginan’ beberapa orang atau management atau pimpinan suatu institusi sehingga ketika diilustrasikan sangat sulit untuk dilaksanakan, bahkan konsep tersebut bukan merupakan sebuah prorotype perbaikan tetapi lebih merupakan imajinasi parsial yang mustahil untuk dilaksanakan. Jadi konsep bukan hanya sekedar ‘perfect’ secara teori namun juga ‘possible doing’.
 
2. Empati
Mengapa konsep itu harus dijalankan ??? apakah memang untuk kepentingan bersama, merupakan analisa dari permasalahan lapangan, atau hanya sekedar mengejar ‘target program’. Mau tidak mau konsep yang responsible adalah yang berkait langsung dengan emosi, kepentingan, kemajuan dari pelaksananya yang hasilnya langsung bisa dilihat dan dinikmati di lapangan.
 
3. Complete
Konsep bukan hanya sederetan kalimat yang utopis dan impossible yang terkesan parsial, tetapi juga harus dilengkapi dengan latar belakang kelahirannya disertai data pendukungnya, apa targetnya, siapa pelaksananya, dimana tempatnya, berapa anggarannya dll. Bukan terkesan sebagai muatan dari pikiran yang melintas dan asal-asalan, tetapi menggambarkan validitas aktual. Jadi dengan melihat konsep kita langsung terbayang isi dan hasilnya serta kemanfaatan yang bisa diperoleh.
 
4. Who
Siapa yang akan melaksanakan, ini kadang juga luput dari perhatian kita. Jika sang pembuat konsep merupakan sosok yang smart, cerdas, kualitas perfect tentu akan menghasilkan ide yang ‘high’ dengan bahasa dan acuan yang dipastikan jempolan. Perlu diingat bahwa pembuat konsep terjkadang bukanlah pelaksana, ketika konsep selesai kemudian disosialisasikan di lapangan untuk ‘segera’ dilaksanakan. Di tahapan ini pelaksana tidak semua paham bahasa konsep dari sang pembuat konsep, dan ketika hal itu terjadi terjemahan konsep akan berbeda dengan bahasa pelaksanaan di lapangan, untuk itu konsep harus membumi, gampang dicerna dan dipahami olek pelaksana dan bahkan kadang membutuhka penerjemah di lapangan.
 
Demikianlan uraian sederhana yang terlintas dari benak yang kadang perlu dievaluasi ini mengenai konsep dan pendukungnya. Kadang konseptor merasa telah selesai ketika konsep selesai, itu perlu dikoreksi karena konseptor harus tetap ada dari tahap sosialisasi dan terus berkoordinasi dengan pelaksana sampai tahapan selesai dan evaluasi. Konseptor bukan jabatan paling elit, eksklusif  dan bukan akhir dari segalanya untuk menentukan kegiatan selesai dengan selesainya konsep  tetapi baru langkah kecil sebagai lompatan langkah yang lebih besar, walaupun harus kita akui tidak semua orang bisa membuat konsep yang baik.
 
Sumber: kompasiana.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *