Tips untuk Guru dan Orang Tua

Be a good listener,” kata sebuah ungkapan bijak. Nasehat ini sederhana namun sangat berharga dan dalam kandungan maknanya. Ketika punya anak kecil, dengan penuh kasih sayang dan perhatian kita mengajari dia berjalan, makan, berpakaian dan berbicara. Namun hampir tidak terpikir untuk melatih bagaimana agar nantinya dia tumbuh menjadi pendengar yang baik. Di beberapa sekolah pun diselenggarakan lomba berpidato, tetapi tidak pernah ada lomba mendengarkan.

Di perkantoran dan forum ceramah selalu saja ada orang yang ngobrol ketika ada pembicara yang tengah menyampaikan pikirannya. Bahkan mereka asyik ngobrol sendiri. Bagi seorang pembicara, situasi seperti itu sungguh tidak nyaman. Merasa tidak dihargai dan bisa mengganggu konsentrasi.

Pendeknya, ternyata untuk menjadi pendengar yang baik itu tidak mudah, sehingga memerlukan pendidikan dan pembiasaan sejak kecil. Kita semua sependapat, terlebih sebagai guru atau orang tua, pasti akan kecewa ketika berbicara tidak diperhatikan dan didengarkan dengan baik. Tetapi, pernahkah secara sadar dan sistimatis kita mendidik anak-anak menjadi pendengar yang baik?

Mendengarkan secara baik, sesungguhnya juga mengasah kecerdasan dan daya ingat. Lebih dari itu, menjadi pendengar yang baik berarti kita membuka telinga, hati dan  pikiran untuk menerima dan menghargai martabat kemanusiaan lawan bicara. Ada sebuah kisah yang menarik betapa menjadi pendengar secara tulus itu bisa menyelamatkan nyawa seorang teman dan merubah jalan hidupnya.

Di sebuah sekolah, ada seorang siswa yang sangat disayang oleh teman-temannya karena dikenal sebagai pendengar yang baik dan tulus. Sebut saja Ani namanya. Teman-temannya merasa aman dan nyaman curhat kepadanya. Suatu hari Ani tidak melihat teman karibnya, sebut saja Anna, masuk sekolah, sehingga dia sengaja mampir ke rumahnya sepulang sekolah. Setelah puas ngobrol Ani pulang ke rumah. Setelah itu aktivitas belajar dan persahabatan berlangsung seperti biasa, tak ada yang istimewa.  

Namun setelah sekian tahun berselang dan keduanya sudah menjadi sarjana serta memiliki pekerjaan yang mapan, Ani dibuat kaget ketika suatu saat Anna datang ke rumah memberi hadiah mobil baru untuk Ani. Setelah panjang lebar ngobrol, Anna akhirnya bercerita dia melakukan hal yang diluar dugaan Ani. Bahwa dia sewaktu SMU hampir saja bunuh diri karena tidak tahan menanggung beban hidupnya. Di saat hendak bersiap bunuh diri itulah Ani berkunjung ke rumah dan Anna pun kemudian curhat pada Ani yang dia kenal sebagai pendengar yang baik dan tulus. Sebagai tanda terima kasih padanya, Anna yang kemudian sukses hidupnya lalu memberikan hadiah mobil padanya.

Sekarang ini rasanya orang lebih senang dan pandai berbicara, berteriak dan mengkritik, tetapi belum tentu bisa menjadi pendengar yang baik. Kita lupa, salah satu sifat Tuhan pun Maha Pendengar. Dulu sewaktu masih sekolah di SD saya senang kalau ada pelajaran “mencongak”. Ibu Guru melatih murid untuk mendengarkan, tidak boleh pegang pulpen. Kelas hening, suasana meditative. Lalu Bu Guru memberi soal berhitung secara lisan, sejak dari yang paling mudah lalu berkembang agak panjang dan susah. Setelah dianggap cukup mencerna soal, anak-anak dianjurkan pegang pulpen untuk menuliskan jawabannya.

Lain kali mencongak itu berupa menulis ulang apa yang diucapkan Ibu Guru, dimulai dari kalimat pendek sampai yang panjang. Bahkan satu paragraf pendek. Adakalanya Ibu Guru hanya sekali mengucapkan, dan ada yang sampai tiga kali. Dengan metode ini kami dilatih untuk memperhatikan wajah dan bibir Ibu Guru, tempat keluar kata-kata. Mata, telinga dan pikiran fokus memperhatikan apa yang diucapkan, lalu kami menuliskan di atas kertas. Dengan metode ini kami dilatih untuk menjadi pendengar yang cerdas, teliti dan penuh empati.

Mari kita belajar sambil mengajari anak-anak kita “to be a good listener”. Dan itu memerlukan ketulusan dan kelapangan hati.

Sumber:metrotvnews.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *